Terkadang aku mengingatmu, merindukanmu untuk merindukanku, menginginkanmu untuk mengingatku
Minggu, 16 September 2012
Menuju Kemenangan (._.)
apa hal terbaik yang kulakukan?
Ramadhanmu akan berakhir.
banyak sekali yang kulewatkan.
Terlalu banyak.
dimana tekadku yang dulu?
yang pernah kupastikan.
saat kumerindui Ramadhanmu kembali.
terlalu banyak kelalaian.
terlalu banyak kemalasan.
penundaan.
sombong.
sombong bahwa usia ini akan lebih lama.
sombong bahwa Ramadhan akan kembali untukku.
terlalu lama kuhabiskan untuk ketidakpastian.
hanya kesia-siaan.
merugikah aku?
sekarang, aku belum terlambat.
Ramadhan masih menyisakan detik-detik
terakhirnya buat ku.
buat ku singgah dirumahmu,
bermunajat.
memohon merintih.
akankah kulakukan?
terlalu lemah iman ini untuk itu.
aku butuh seseorang untuk menemani.
yang benar-benar mengerti.
betapa menggunungnya dosaku.
harus kulakukan.
tak boleh kutinggalkan.
kutinggalkan cahaya ini
menuju kegelapan.
kutinggalkan cahaya rembulan
untuk lilin.
kemarin, kubiarkan waktu mengalir.
terus mengalir.
bahkan kuderaskan alirannya
dengan tidur panjangku.
sekarang, bagai ku tahan jarum detik
untuk bergerak.
salahnya jam dinding tak bisa bicara.
sekarang, sendiri menyepi.
dalam kesendirian, menangis.
mengenang. menyesal.
Tak Pantas Aku Menuju Kemenangan.
Ampunkanlah Ya Allah.
Disana Ada Koneksi
bahkan sebenarnya aku tak tau makna cinta itu.
bagaimana aku bisa bilang cinta?
bukan hakku mengatakan
aku mencintaimu.
karena sadar, aku terkadang jauh dan menjauh,
terkadang aku melupakan,
dan terkadang aku ingkar dan lalai.
dulu, ku kira mudah mencintai.
ternyata kenyataan tak semudah dulu.
aku melepaskan yang dicinta
karena untuk yang tercinta.
tapi cinta kepada yang tercinta
tak sama dengan cinta kepada yang dicinta.
aku keliru dengan ini. bukan dengan katanya!
tapi makna yang berbeda dari keduanya.
yakin! sungguh aku yakin.
aku akan tulus denganmu.
namun kurasa sekarang aku tak
mendapat apa-apa dari keduanya.
ku tau yang dicinta tak mengerti.
oke, kutau dia tak peduli.
aku..
hanya melakukannya krna rangkaian
kata ini :
"dua cinta tak akan berkumpul dalam
satu hati, hanya satu cinta yang akan
bertakhta dalam satu jiwa"
*mungkin yang dicinta ingat* :)
#aku menulis ini berharap yang tercinta
dapat membacanya.yaa, kuharap ada
koneksi hingga langit ketujuh.
walau kita tau, tanpaku ungkapkanpun
yang tercinta telah membaca langsung
lewat minda ini, murni,
tanpa goresan kepalsuan.
My Ikhwan
Pukul empat dua belas menit. Ia tahu itu
setelah melihat jam dinding bulatnya di pojok kamar. Handphone-nya bernyanyi.
Kayla.
“Ya?
Halo?”
“Memeei,
ini sangat darurat ! tolong. Aku tak bisa...”
Tiit !
“Ada
apa? Kayla?”
Disana hening. Teleponnya terputus. Apa yang
terjadi padanya?. Apa yang darurat?. Kenapa handphone-nya tiba-tiba mati?.
Kepala Memei berputar-putar bagai baling-baling bambu karena memikirkan nasib
sahabat kecilnya. Ditinggalkannya pulpen dan notes kecil dimeja belajarnya dan
bergegas pergi. Beruntung didepan rumahnya ramai sekali anak-anak bermain
sepeda. Sebenarnya ia tak ingin membuyarkan kegembiraan anak-anak tadi dalam
keseronokkan dan keseruan mereka. Dan juga tawa serta unjuk gigi ceria.
Seolah-olah membentuk satu paparan kehidupan yang baru.
“Dek,
pinjam sepedamu dong ya? Sebentar kok!” teriaknya.
Sekelip mata Memei dan sepeda colongannya
hilang ditelan jalan. Cepat Memei. Menjauhlah pergi. Dayung yang cepat.
Sebelum anak itu menangis dan kau tak dapat menyelamatkan Kayla.
--=oOo=--
Tak butuh dua kali Memei berpikir untuk pergi
mengunjungi rumah Kayla. Karena ia benar-benar menyukainya. Jalan-jalan yang
menanjak berliku-liku dihiasi pepohonan teduh. Berselang-seling antara bangku
dan lampu jalan. Hamparan rerumputan yang tertumpuk dedaunan berwarna oranye
dan guguran daun tua bak gerimis kedamaian.
“Jikaku
punya banyak waktu, aku akan merebahkan diri di bawah pohon itu dan membuat
puisi” Pikirnya saat melihat pohon rindang dekat taman yang tak jauh dari
jalan.
Keindahan dari pandangan mata Memei barusan
membuatnya lupa tentang Kayla. Sampai-sampai ia tak menyadari kalau rumah Kayla
berada sepuluh meter dibelakangnya. Bahkan ia pun tak menyadari bahwa ada
seorang anak perempuan yang memanggil-manggil namanya dari kejauhan sepuluh
meter dibelakangnya.
BURGH
!!!
“Adaw!”
refleks Memei sambil memegang kepalanya yang dilempar sendal.
“Head
Shot!”
“Sakit
tauk ! Hobi kali pun nimpukin aku pake sendal karatanmu”
“Abisnya
dipanggil tak dengar. Ngelamun lagi ya? Tuh,
rumahku udah kelewatan.”
“Iyanya?”
Diam sejenak. Memei menatap wajah
Kayla. Tiba-tiba saja wajah Kayla berubah indah. Matanya berbinar, bibirnya
melengkungkan senyuman. Tapi... Matanya tak tertuju pada Memei.
“Liat
apa sih?” lihat Memei ke belakang.
Insan lelaki berjaket hijau dengan
setelan Jeans dan topi yang dimiringkan lewat dibelakangnya.
“Oh Gani
toh” ledek Memei kepada Kayla.
“Apaan sih Mei”
“Jogging
ya Gan?” tanya Memei.
“I..iya
nih Mei” ucap Gani tiba-tiba gagap.
“Mampir
kerumah yuk” tawar Kayla.
“Enggak
deh Kay, makasih. Emm, Mei aku cabut dulu ya?”
“Iya”
Wajah Kayla berubah lagi. Seperti bunglon yang tadinya diatas
pohon rimbun, dan sekarang telah jatuh ke tanah. Bibirnya jadi monyong. Matanya
jadi tak berpupil dan alisnya mengkerut. Tampaknya Memei harus memikirkan cara
untuk mengembalikan mood sahabatnya.
“O iya
Kay, tadi nelfon aku kenapa? Kayaknya kamu baik-baik aja. Aku kiraa..”
“Eh iya
Mei aku hampir lupa. Macam ini Mei, ingatkan tugas puisi kita tu? ya, kamu tau
sendirikan Mei, aku bego banget bikin puisi, ntar jadi pidato lagi. Nah kamu,
kamu tu berbakat banget, aku aja pengen meleleh denger puisi kamu Mei” potong
Kayla panjang lebar.
“Jiah,
jadi aku buru-buru datang kesini, pake acara maling sepeda anak tetangga, plus
ditimpukin sama kamu, cuma buat bikinin puisi?”
“ha’ah”
singkat Kayla sambil senyum ngeyel.
“Emm,
judulnya?”
“Apa?”
heran Kayla.
“Judul
puisinya?”
“oh
makasih Memeiku yang baik, cantik, imut, pintar, muach. Em, apa ya bagusnya? terserah kamu aja beb”
peluk Kayla senang.
“Ha’ahlah,
aku balek dulu ee, mau mandi lagi haa”
“Hati-hati
yaaa” kata Kayla melambaikan tangan.
--=oOo=--
Sabtu pagi, masih seperti biasa Memei datang
lebih pagi dari Kayla. Bukan Kayla nya yang telat, tapi memang Memeinya yang
datang kepagian. Pernah sekali itu salah satu teman sekelasnya bertanya
kepadanya.
PUKUL
06.10 PAGI..
“Eh, ada
Memei rupanya. Tiap hari keknya kamu datangnya kepagian bet deh. Kenapa gitu
Mei?” tanya Zeze penasaran.
“Kamu
enggak tau ya?”
“Apa?”
Zeze makin penasaran.
“Rumah
aku kan disamping sekolah”
Zeze terdiam. Ia benar-benar tidak
menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Perasaan penasarannya buyar
menjadi molekul demi molekul.
PELAJARAN
KEDUA. BAHASA INDONESIA.
“Mei,
puisi aku dong!” pinta Kayla
“Nah!”
“Assalamu’alaikum
murid-murid” kata Pak Mus yang masuk tiba-tiba.
“Wa’alaikumsalam
Paaaak”
“Punya
tugaskan? puisi?. Oke, Zulfahmi Anwar.”
“Sa..Saya
Pak?”
“Ya
silakan”
Sepuluh menit. Lima belas menit. Dua
puluh menit. Pembacaan puisi belum juga kelar. Yang maju baru lima orang.
Berarti dua puluh menit dibagi lima sama dengan empat. Jadi, satu orang empat
menit.
“Mecca
Aulia” Panggil Pak Mus.
“Fighting!
“ Kayla memberi semangat.
Memei segera meninggalkan kursi
panasnya sambil membawa buku berisikan coretan sastra yang menawan hati
pendengar maupun pembacanya. Memei memang dikenal sebagai seorang yang puitis.
Terkadang adik kelas memanggilnya “Kak Puisi” atau “Kak Pus”. Sebenarnya Memei
bukanlah orang yang dimanapun berada akan berpuisi. Bukan juga orang yang suka sharing
puisi-puisinya di jejaring sosial. Apalagi menempelkan karyanya di mading
setiap minggu. Popularitas Memei diawali oleh Boboy. Boboy adalah lelaki
populer di sekolah. Ayahnya kepala sekolah. Dan dia sangat dikenal dengan
julukan ‘Boboy si Playboy’.
Pada suatu hari, datanglah Boboy ke
meja Memei bermaksud untuk meminjam pulpen. Memei yang merasa tidak nyaman
pergi menjauh tanpa mendengar sepatah katapun yang keluar dari mulut si Boboy.
Boboy mengernyit dan duduk di kursi Memei. Dilihatnya ada pulpen di selipkan
dalam buku gadis itu. Ya tunggu apalagi, ia membuka buku tersebut dan mengambil
pulpennya.
Satu menit berlalu. Boboy masih
dimeja Memei. Duduk dengan tenang tanpa kerusuhan. Apa yang dilakukannya?
Disatu waktu. Jam. Menit dan detik
menyertai langkah pikirku
di suatu ruang
udara membawa nafas dalam kesendirianku
entah bagaimana caranya
entah bagaimana aku bisa
mencintai yang dicinta
tanpa peduli pada yang tercinta
menuai harapan
digurun pasir menggunung
entah bagaimana diriku
memikirkan cerita cinta, cerita tawa,
melalui semuanya dengan gelombang rasa
tak jarang mata ini terbasahkan
oleh deretan kekesalan.
Ia termangu. Dibacanya berulang
kali. Berusaha untuk memahami makna tulisan itu. Berusaha untuk menguakkan
tabir kata-kata rahasia itu. Lalu
timbullah ide dari benaknya untuk meminta Memei membuatkan puisi buat pacar
barunya. Tentu saja Memei menolak! Tapi ya mau gimana lagi, ia terlalu risih
diikuti si Boboy kemana-mana. Membuatnya dicemburui oleh fans-fans nya si
Boboy. Berita tentang ini sangat cepat tersebar. Nah, begitulah kisah
popularitas Memei.
Tepuk tangan gemuruh menyertai
langkah kaki Memei. Berawalkan Assalamu’alaikum ia membawakan puisinya.
“Puisi
ini berjudul “Bila Ku Ingin,
Terkadang
aku mengingatmu
merindukanmu
untuk merindukanku
menginginkanmu
untuk mengingatku
sungguh,
doa’ku telah terjawab
saatku
ingin mencintai
aku
bisa dicintai
karna
aku mencintaimu. . . . .”
“Aku
juga mencintaimu Memeeei” teriak Gani dari luar kelas memecah keheningan.
Wajah Memei merah padam. Ia malu
sekaligus takut pada Pak Mus. Lebih-lebih lagi pada Kayla. Selama ini Kayla
menaruh perasaannya pada Gani. Tapi sayang, Gani terlanjur terpesona oleh
kepribadian Memei. Sorak tawa seisi kelas masih riuh hampir tiga puluh detik lamanya.
Pak Mus sepertinya membiarkan saja kerenah para muridnya. Gani yang tadinya
begitu percaya diri telah lari ke kelasnya. Memei yang tak bisa menahan malu
kembali ke kursinya yang kini dingin. Pas sekali, bel keluar berdering.
--=oOo=--
Memei pergi
keluar kelas menuju loker abu-abunya di pojok kanan bawah tangga. Masukkan
kunci, putar, dan terbuka. Yang Istimewanya pada loker hari itu ialah : amplop
kuning yang bercorak hati. Ia terkejut dan segera ke toilet. Dibukanya
perlahan.
Mecca Aulia,
Sebenarnya
aku tak memanggilmu Mecca Aulia atau Memei. Tapi, aku memanggilmu ‘semangat
dari hutan’. Aku bermimpi kau sedang membuatkanku puisi dibawah sakura. Aku
sebagai Unicorn menatapmu dari jauh. Dari mimpi itu aku tau kalau aku
menyukaimu.
Muhammad AlGani.
Memei
benar-benar shock. Tak pernah sedikitpun ia membayangkan hal ini. Bagaimana
dengan Kayla? Kayla tak boleh tau tentang ini!. Memei dengan wajahnya yang
pucat berlari kembali ke kelas. Dipegangnya erat-erat surat itu yang amplopnya
tak ada lagi. Tanpa disangkanya, ada tangan yang memegang pundaknya dari
belakang.
“Mei,” Kayla memulai dialog.
“Kayla aku..”
Memei tiba-tiba terdiam. Amplop kuning bercorak
hati yang baru dikenalnya beberapa menit lalu ada ditangan Kayla.
“A..”
“Dari Gani kan?” Kata Kayla yang tampak tabah.
Memei Mengangguk.
“Gapapa kok, santai aja, aku gapapa, kamu lebih
penting Mei” ucap Kayla lagi yang kini tersenyum.
Kayla kembali ke kursinya.
Memei masih terdiam. Termangu. Tak berkutik. Hampa. Ia bagai di bulan, tanpa
merasa gravitasi.
--=oOo=--
Pukul
tiga lima belas menit sore.
Tingnung
!! Tingnung!!
Gani menunggu di depan pintu rumah Memei. Ibu
Memei membuka pintu dan meminta Gani masuk.
“Ada
perlu apa ya nak Gani?”
“ Oh ini
nte, ada titipan dari Pak Guru”
“Ooh,
silakan duduk dulu. Sebentar tante panggilkan Memeinya”
Gani mengangguk sambil tersenyum
tanda segan. Tak sampai dua menit, Memei sudah muncul dihadapan Gani. Tiga
puluh detik pertama mereka sama-sama diam. Mungkin keduanya mengingat kertas
beramplop kuning itu.
“Gan?”
Memei mengawali.
“Eh,
iya, emm, jadi gini, Pak Mus tadi mau ngasih ini sama kamu, tapi kamunya udah
pulang. Yaa, kebetulan aku lewat, jadi Pak Mus nitip ini buat ngasih ke kamu.”
“Kertas
itu? Apa?”
“Ini?
Kayaknya laporan kas kelas. Nih !”
“Oh.
Makasih ya”
“ehm,
jadi Mei?”
“Jadi?
Apa?”
“Jadi..
Kita Jadian?”
“Sstt,
jangan ngomong disini. Ada ibuku” panik Memei.
“Ya.. ya
maaf”
“iya
deh. Kamu pulang aja sana” ucap Memei sambil menarik Gani dan menuntunnya
keluar.
Gani tersenyum puas. Hatinya
menari-nari. Matanya bernyanyi. Fikirannya berpesta. Ia pulang dengan suka ria.
Karena kini, hatinya terisi.
--=oOo=--
Tiga bulan sudah hubungan Gani-Memei terjalin.
Tak begitu berlebihan. Mereka hanya meluangkan masa berdua untuk belajar
bareng. Biasanya Gani mengajarkan Memei Matematika, Fisika, atau Akutansi.
Kalau Memei, yaa sesuai keahliannya. Sastra. Membacakan puisi dan
kisah-kisahnya pada Gani.
Tapi semenjak dua menjak ini, Gani tampak
berubah. Benar-benar berubah. Pernah saat Memei berkunjung ke rumah Gani untuk
melakukan rutinitas mereka, terdengar dari kamar Gani alunan ayat suci
Al-Qur’an. Selama ini, Memei tak pernah melihat apalagi mendengar Gani mengaji.
Ternyata suara yang didengarnya itu berasal dari kaset yang diputar. Terlihat
Gani sedang mengikuti bacaan tarannum dari kasetnya.
“Lagi
ngapain Gan?” ucap Memei yang sudah berada
di kamar Gani.
“Memei?
Kamu bisa bacakan?”
“Apa?”
“itu, di
pintuku itu”
Memei memang tak melihat stiker itu.
Sebelumnya stiker itu tak pernah ada. Tapi hari ini, tulisan kaligrafi yang
sama sekali tak dapat dibacanya itu melekat menghiasi pintu. Belakangan ia tahu
kalau artinya : jangan masuk sebelum memberi salam. Ya, dibawah kaligrafi itu
ada tertera artinya, hampir tak terlihat.
Pernah juga waktu itu Memei
berkunjung ke rumah Kayla. Berceritalah ia tentang Gani yang sedang error. Tentang
dimana perginya album-album musik western-nya. Tentang bagaimana perubahan fashion
dan style rambutnya sekarang. Tentang kemana perginya novel-nevel yang
dipujanya dulu. Semuanya telah tergantikan. Album musiknya serba nasyid,
dilemarinya setelan baju koko, koleksi peci dan rak bukunya penuh dengan buku
hadist, fiqih, dll. Semuanya deh. Termasuk poster-poster dalam kamarnya. Yang
dulunya ada potret Albert Einsten tapi sekarang jadi kaligrafi.
Tanggapan
Kayla pada waktu itu sangat singkat.
“Itu
Hidayah Mei” senyum Kayla.
“Maksudmu
apa Kay?”
“Ya,
seperti itu!”
“Ayolah
Kay. Aku hanya khawatir. Entah-entah ada orang yang mencuci otaknya?”
“Hahah,
ngawur lu Mei. Gani tuh gapapa. harusnya kamu bangga dong Mei, Ganimu sekarang
seorang ikhwan”
“Ikhwan?
apo bendonyo tu? Bunyi macam makanan”
“Bukan
makanan. Kalau untuk cowo panggilnya Ikhwan, kalau untuk cewe Ukhti. Artinya
saudara”
“Ooh.
Kayak ustazah aja kamu sekarang Kay”
“Mueheheheheheh”
--=oOo=--
Dalam hati Memei, ia mengakui kalau
Ganinya sekarang tambah alim. Saat kerumahnya, biasanya Gani sedang Sholat atau
mengaji atau juga membaca buku-buku islam. Kata ibunya juga, Gani sekarang
lebih sering ke masjid. Biasanya ia ke
masjid seminggu sekali. Tapi sekarang hampir setiap hari. Yang buat Memei
jengkel, si Gani ngomongnya soal agama melulu.
“Mei,
kamu berjilbab dong? Aku seneng deh kalau kamu tutup aurat. Lebih anggun.” rayu
Gani lembut.
Aish.
Perasaan dulu Gani biasa aja sama penampilanku. Malahan dipuji. Trus katanya
lagi kalau aku pakai apa aja juga terlihat anggun. Nah loh, sekarang kok di
kritik? .
Hari-hari
berlalu. Memei semakin lama semakin terbiasa dengan prilaku ‘Ikhwan’nya.
Terkadang, saat ada ceramah di masjid, Gani memaksa Memei untuk ikut
bersamanya.
“Mei,
aku punya sesuatu buat kamu”
“Makasih mas Ikhwan, apaan nih?” senyum Memei sambil
meledek.
“Jilbab.
Kamu cute banget deh kalau pakai itu”
“Gani
memang pantang menyerah”
pikir Memei
“Lain
kali deh aku pakainya. Rambutku masih basah nih sekarang” jawab Memei memberi
alasan.
Gani
tersenyum. “Kamu lebih anggun jika berjilbab, lebih dicintai Allah”
--=oOo=--
Besok ialah hari ulang tahun Memei. Gani tampak
bingung dengan hadiah apa yang akan diberikannya pada Memei. Mungkin Memei
suka coklat? eh, cincin? ah masa cincin! Lama ia berpikir. Lama sekali. Hari yang
dinanti tiba, ia memutuskan pergi ke pusat kota bersama teman-temannya untuk
membeli hadiah Memei. Sebelumnya Gani telah membuat janji pada Memei, kalau
mereka akan berjumpa dan merayakan ulang tahun Memei berdua di masjid.
Dari pagi Memei telah bersiap sedia ke masjid.
Setelah waktu ashar, sesuai dengan janji ia melangkahkan kaki ke rumah Allah
yang suci dengan pakaian terbaiknya. Menit demi menit berlalu. Sesekali Memei
menelpon Gani. Gani tak juga datang. Orang-orang disekitarnya heran melihatnya.
Memei tetap menunggu dan menunggu. Barangkali Gani masih dijalan, Gani pasti
datang!
Waktu maghrib telah tiba. Memei masih di
masjid. Ia masih optimis menunggu. Sesekali ia merapikan pakaiannya. Ia ingin
terlihat rapi saat Gani melihatnya.
“Nak,
mari kita sholat didalam?” ajak seorang ibu.
“Iya
bu,”
Selepas sholat, Ibu tadi bertanya
pada Memei. Mengapa ia duduk di teras masjid dari petang tadi. Memei pun
bercerita.Ternyata ibu itu mengenal Gani. Ibu itu memberi motivasi sedikit
padanya. Sekaligus ia mengatakan kalau Gani adalah lelaki yang baik. Setelah
itu, ibu itu pulang kerumahnya yang berada persis di depan masjid. Memei masih
tetap dalam penantiannya. Dipandangnya langit yang tak berbintang. Sunyi sepi.
Malam itu dingin sekali, membuat Memei tak betah berada lama-lama diluar.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri
penantiannya. Pulanglah ia dengan kecewa. Tak disangka Gani mengingkari
janjinya. Sampai di rumah, ia melihat ibunya sedang menerima telefon.
“Iya bu,
he’eh iya, iya ini Memeinya baru pulang. Gani? Dirumah sakit?” Ibu Memei tak
melanjutkan perkataannya, dipandangnya Memei
yang membisu. Jantung Memei seolah melompat.
“Ibu,
Gani kenapa?”
“Kecelakaan,
sekarang di rumah sakit. Kamu tenang dulu. Sekarang kita jenguk kesana ya!”
Kata Ibu Memei yang berusaha menyembunyikan kekhawatirannya.
Sampai di rumah sakit. Kata dokter
yang disampaikan oleh Ibu Gani, Gani cedera parah pada kaki dan kepalanya.
Kondisinya masih kritis. Memei sudah tak mampu membendung air matanya.
Dilihatnya wajah Ibu Gani yang tak tenang dan terus menangis melihat anak
satu-satunya itu. Memei masih mengenakan pakaian terbaiknya tadi yang kini
kusut dan berantakan. Rambutnya yang dirias cantik sekarang sudah tak jelas
bagaimana bentuknya.
Dua jam
kemudian..
“Permisi,
bu, pasien sudah stabil, tapi kondisinya masih sangat lemah. Ia sepertinya
ingin bertemu dengan ibu dan.. Memei”
tutur dokter yang menghampiri Ibu Gani.
“Saya
Dok?” Tanya Memei.
“Anda
Memei?”
“Benar,
saya Memei”
“Pasien
ingin menemui Anda”
Memei masuk ke dalam ruangan tempat Ganinya terbaring.
Dilihatnya Gani yang terbaring lemah. Ia
seperti tak mengenal laki-laki itu. Dimana Ganinya yang gagah? Dimana
Ganinya yang kuat? Dimana Ganinya yang ceria dan selalu tersenyum?
Lagi-lagi air mata menghujani pipi Memei. Ibu Gani yang tadinya sempat
meraung-raung sekarang tampak tenang.
“i..bu”
ucap Gani
“Iya
nak, jangan ngomong apa-apa dulu. Kondisi kamu belum baik. Cepat sembuh ya nak”
jawab Ibunya sambil menahan tangis.
“ma..af”
kata Gani lagi.
“Ibu
sudah maafkan segalanya Gani. Kamu anak ibu, Anak ibu yang paling baik, yang
sholeh, yang ibu cintai”
Kini Gani tersenyum. Ia memang tak
mampu bicara banyak.Dilihatnya kesebelah kiri, tampak sosok perempuan yang
terus menghapus air dipipinya.
“Mei..
Kamu baik-baik ya”
“Kamu tu
yang harusnya baik-baik. Harus cepat sembuh. Harus sehat lagi. Harus rayain
ulang tahun aku. Kamu tu gak boleh sakit kek gini”
“Mei,
kamu lebih anggun jika berjilbab” ucap Gani tersenyum.
Dokter tiba-tiba masuk dan segera
menangani Gani yang kini sulit bernafas dan tubuhnya melemah. Dokter dan
suster-suster sibuk mengurus alat-alat ditubuh Gani. Lalu terdengarlah bisikan
yang terucap dari bibir Gani. Suaranya halus sekali. Tapi tak begitu halus
sehingga masih dapat terdengar.
“Asy..ha..du..alla..ilahaillallah..wa..asy..hadu..anna..mu..hammad..rasul..lul..lah”
Ti.........iiit
! Bunyi mesin bermonitor yang menunjukkan garis mendatar yang berjalan.
Dokter
tak mampu berbuat apa-apa lagi. Ibu Gani memeluk Gani erat. Memei melihat wajah
Gani yang tersenyum tenang.
--=oOo=--
Ibu Gani datang menghampiri Memei
sambil membawa kotak berhias pita berwarna hijau muda.
“Gani
membawa ini dalam perjalanannya saat ingin menemui kamu. Ambillah!” kata Ibu
Gani.
Memei terharu. Hatinya menangis.
Gani tak mengingkari janjinya. Gani tak mengecewakannya. Dibukanya kado ulang
tahun yang seharusnya ia buka di masjid. Jilbab putih berhiaskan mawar di
atasnya dan juga gamis putih terlihat cantik sekali. Kemudian terngianglah
telinga Memei oleh kata-kata terakhir
Ganinya. Didalam kado itu juga terdapat secarik kertas kecil yang ditulis Gani
buat Memei.
Selamat
Ulang Tahun Memeiku yang manis. Semoga Allag memberikanmu umur yang berkah. Jadilah
permaisuri hatiku. Walau aku tak setaat Abu Bakar. Walau aku tak se-handsome
Yusuf as. Walau aku tak serupa dengan Sarukhan. Tapi cinta ini murni. Kupersembahkan buatmu. ‘Jadilah
wanita yang anggun’.
Ikhwanmu,
Gani
--=oOo=--
Saat pemakaman Gani, suasana haru menemani
gerimis sore itu. Memei datang dengan mengenakan gamis dan jilbab putih dari
Ganinya. Setelah pemakaman selesai dan semua orang termasuk Ibu Gani memilih
untuk pulang, Memei masih berdiri disamping kanan kuburan Gani. Ditangannya ada
sepotong kue tart. Lalu ia duduk bersimpuh disisi Ganinya.
“Gani,
hari ini kita bisa merayakan ulang tahunku. Aku membawa sepotong kue untukmu.
Gani, aku janji. Demi Allah, aku akan jadi wanita yang anggun. Lihat aku
sekarang, Aku anggun dengan jilbab pemberianmu. Iyakan?. Aku juga janji akan
jadi permaisurimu. Walau bukan di dunia. Tunggulah aku disyurga hingga Allah
memanggilku. Do’aku selalu menyertaimu. Selamat Jalan, Ikhwanku”
--=TamaT=--
Langganan:
Postingan (Atom)